PLATFORM

 “MENGENANG 10 TAHUN REFORMASI”

 

Sepuluh tahun sudah reformasi berlalu, sementara agenda-agenda reformasi yang dulu diteriak-teriakan seperti penghapusan Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN), pelanggaran hukum atas pelaku kejahatan ekonomi, pilitik dan kemanusian serta penciptaan iklim politik yang demokratis, malah mengalami kemacetan. Penyebabnya tak lain karena elemen-lemen rezim orde baru masih kuat mengontrol dan mengendalikan institusi-institusi politik di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, militer maupun di badan-badan usaha ekonomi.

 

Pemerintah terpilih mesti berkuasa penuh atas penyelenggaraan negara senantiasa menghadapi  rintangan koalisi orde baru-militer serta kelompok-kelompok konservatif. Kerusuhan-kerusuhan sosial seperti kekerasan antar penganut agama atau keyakinan, teror bom dan manuver-manuver politik yang terjadi sepanjang kurun waktu sepuluh tahun ini merupakan bentuk nyata rintangan demokratisasi. Karuan saja agenda-agenda pembaruan terbengkalai menjadi sekedar suatu tuntutan.

 

Di sisi lain gerakan-gerakan rakyat yang terdiri dari mahasiswa, pemuda, petani dan nelayan, masyarakat adat, buruh, kaum misikin kota, kaum perempuan dan kelas menengah progresif, tak mampu berbuat banyak karena sebagian besar gerakan mereka bertumpu pada kekuatan moral, berjalan sendiri-sendiri dan bersifat sporadik. Padahal krisis multidimensi yang dialami Indonesia bukanlah krisis hasil salah urus ekonomi semata-mata. Bahkan yang sangat berpengaruh terhadap krisis itu adalah karena adanya kontrol penuh melalui kekuatan militer dan birokrasi terhadap aktivitas sosial-poltik masyarakat sipil.

 

Sistem kapitalis-monopoli yang menciptakan krisis multidimensi ini beroleh tempat subur di Indonesia, karena rejim diktator melanggengkan feodalisme sebagai suatu sistem pengatur kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Meski sekarang Indonesia masuk kedalam pasar ekonomi bebas, namun secara subtansi tidak pernah mengalami transisi produksi dari periode dominasi feodalis ke produksi ekonomi. Makanya, feodalisme tetap mendominasi bentuk pembagian produksi ekonomi.

 

Bahkan pada saat Orde Baru berkuasa, secara signifikan warisan kolot itu dikembangkan lewat berbagai macam bentuk dan cara. Misalnya, untuk menjaga kesetiaan para kroni dan jenderal-jenderalnya, soeharto membagi-bagi hutan di seluruh nusantara ini lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Bahkan memberkati perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan. Akibatnya banyak rakyat pekerja yang menghamba pada tuan-tuan tanah baru dan kepentingan modal. Tak ketinggalan, orde baru memperkokoh sisitem hirarki birokrasi lewat distribusi kekayaan yang tak seimbang. Dengan ketentuan upah minimum regional (UMR) yang serba kurang dari cukup.

 

Kebudayaan feodal pun telah menciptakan budaya pikir bangsa yang percaya bahwa sosok tokoh merupakan kebutuhan mutlak. Segala sesuatu seakan tidak akan berlangsung baik tanpa adanya figur baik tanpa adanya figur tokoh pemimpin. Ironisnya sistem berpikir ini pula yang sampai saat ini dipergunakan dalam melangkah menuju Indonesia baru yang diimpikan. Karena fenomena tokoh dalam kepemimpinan sangat penting untuk merealisir cita-cita bangsa.

 

Persoalan-persoalan diatas merupakan rintangan ketika kita memasuki masa transisi demokrasi. Demokrasi dipahami dan diinterpretasikan dalam konteks yang sangat terbatas dan kabur. Orang bebas berbicara, menggalang aksi, mendirikan organisasi dan partai politik, tapi struktur ekonomi-politik yang dominan dan eksploitasi tetap dipertahankan. Miris, memang. Pada saat elit politik dan kelas menengah menikmati iklim demokrasi, rakyat jelata baik dari tani, nelayan, buruh dan kaum miskin kota, yang menuntut hak-hak dasar dari kehidupan mereka masih tetap mengalami tindak kekerasan oleh aparat polisi-militer maupun pemilik modal.

 

Karena itu kita sangat perlu menegaskan kembali bahwa makna demokrasi bagi rakyat, bukan demokrasi sebagaimana seperti sekarang ini. Reformasi ternyata tidak cukup untuk mengatasi kesulitan bangsa dalam kemelut KKN, kekerasan sosial-politik dan ketidakadilan. Penyebabnya terdapat pada pilihan perubahan melalui reformasi itu sendiri. Saat ini yang tampak adalah bahwa reformasi merupakan asas kontradiktif dualisme yang sengaja dipakai para pemimpin bangsa untuk mengatasi kesulitan bangsa dan negara ketika dihadapkan pada krisis ekonomi pilitik. Maka bisalah dipahami, ketika seluruh bangsa melalui proses pembaruan lewat reformasi, akar KKN masih tetap tumbuh di dalam sistem permainan baru. Karena dengan reformasi orang tak perlu mencabut atau merombak akar permasalahan yang sebenarnya. Orang diajak percaya bahwa sistem yang telah membudaya bobroknya itu bisa diperbaiki hanya dengan tambal sulam.

 

Dengan demikian, jalan keluar terbaik bukan lagi memperbaharui atau memperbaiki sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada. Yang harus dilakukan adalah membongkar sistem lama dan membangun sistem baru di atas nilai-nilai demokrasi sejati. Dengan menempatkan bahwa transisi demokrasi harus berdampak langsung pada penghapusan segala bentuk penghisapan dan penindasan di bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, dan mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan demokratis, maka diperlukan suatu perjuangan bersama di kalangan buruh, tani, nelayan, komunitas miskin kota, kaum perempuan, mahasiswa, pemuda dan kelas menengah progresif dalam bentuk komunitas bersama. Atas dasar pertimbangan itulah Center for Development Studies didirikan.

 Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, CDS berupaya menggalang solidaritas yang bertumpu pada kekuatan kaum muda yang progresif yang tersebar di sektor tani, buruh dan kaum miskin perkotaan menjadi bagian penting dalam perjuangan CDS, karena mereka selama ini selalu dijadikan objek eksploitasi dan penindasan dari para imperialis, komprador, kapitalis birokrat, juga feodalisme. 

8 Komentar Add your own

  • 1. Anjaz  |  April 17, 2008 pukul 8:36 am

    salam REFORMASI kawan..!!!

    Balas
  • 2. Zamedude  |  April 17, 2008 pukul 1:08 pm

    Salam Pembebasan!

    Amerika Latin tempoe doeloe. Camilo Torres, seorang pastor, sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15 Februari 1966. Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh seorang kopral karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang kopral dan kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior Union–pasukan penjagal manusia dan pelindung tuan tanah–di sebuah desa di San Salvador, 12 Maret 1977.

    Kisah di atas dikutip dari buku Teologi Pembebasan susunan Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90% penduduknya menganut Katolik itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak atau bahkan bergabung dengan rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.

    Mereka, para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para penganut Teologi Pembebasan, sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial. Paham ini mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez –pastor dari Peru– menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971. Paham ini menjadi kontroversial karena memiliki metode pendekatan yang tak biasa dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni pendekatan marxis yang radikal.

    Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.

    Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.

    Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

    Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank–orang Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin–dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi (ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.

    Bantuan negara maju dalam proses modernisasi –yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara maju– juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.

    Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

    Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.

    Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba, Argentina, Uruguay, Kosta Rika, Peru, dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina, misalnya, pada 1934, jumlah anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai 8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka 120.000 orang. Organisasi buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada empat negara yang mempunyai Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua negara Amerika Latin mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika, Guatemala, dan Kuba. Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar satu juta orang. Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya dengan upaya gereja untuk menciptakan kaum awam yang militan.

    Untuk melembagakan kesadaran baru di bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)–sidang para uskup Amerika latin–Di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak diterapkannya “sistem kolegialitas antar uskup” dan ditinggalkannya sistem patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13. Dalam sistem patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para uskup cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik, walaupun penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem kolegialitas, gereja tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka dapat bergerak bebas untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini mengantar mereka untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat tertindas, walau dengan risiko dimusuhi penguasa.

    Gerakan pembebasan itu makin gencar setelah Konsili Vatikan II –sidang resmi para uskup sedunia– pada 1962 memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya, turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia.

    Apa yang dicanangkan Konsili Vatikan II tersebut menjadi salah satu alasan para uskup Amerika Latin untuk menggelar Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya, sidang itu menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin telah menjelma menjadi kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan terjadi di segala bidang. Maka gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kebudayaan, berperan serta dalam kehidupan sosial politik.

    Tiga tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion –Teologi Pembebasan– karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin.

    Sidang Celam II dan buku Gutierrez mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat. Sebaliknya, rasa permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap gereja kian tajam. Seiring dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula suara yang menuduh para pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan radikal melalui revolusi kekerasan. Penggunaan analisis marxis “perjuangan kelas” dan “perubahan struktur” oleh para teolog Teologi Pembebasan, termasuk Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai “dosa terhadap Kristianitas”.

    Namun para tokoh Teologi Pembebasan membantah tuduhan tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut bergerilya dan tewas, misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan para gerilyawan. “Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan kekerasan. Manakala rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri, kelas penguasa cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan. Kita tak ingin kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita cita-citakan adalah bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat,” katanya pada 1965.

    Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan, bergabung dengan kelompok gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya karena tak ada pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh komunis. “Saya tak pernah akan bergabung ke dalam aparatnya, dan saya tak hendak menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai orang Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat,” katanya pada September 1965.

    Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi menolak bila dituduh “berdosa” terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang mendalami tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap bersikap kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.

    Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan praktek kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez, “perjuangan kelas” yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi penganut Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah menyuarakan perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan struktur kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak, bukanlah monopoli Marx. Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu menganjurkannya. Untuk memperkuat argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat dalam Injil. Misalnya dari Injil Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain berbunyi: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa.”

    Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran Yesus sebagai Sang Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja. “Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya, melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup. Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain,” katanya.

    Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis terhadap marxis dan menempatkan Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih unggul ketimbang marxis. Keunggulan Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat kemenangan setelah kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya jawaban.

    Pembenaran Gutierrez tersebut tak mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan Teologi Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang para imam Katolik terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menggunakan pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan para uskup Amerika Latin yang tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar kritik terhadap penerapan marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles, Meksiko, pada 1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme. Menurut mereka, kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan, kekuasaan, pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi yang menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau untuk menggalakkan gerakan “umat basis” yang sudah dilakukan sebelumnya.

    Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur menjalar ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching Ground, Taking Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada gerakan massa yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani, katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan fundamental di bidang ekonomi dan politik.

    Di Indonesia, menurut Budhy Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina, bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru pengaruh teori dependensi –pemikiran di bidang ekonomi– yang pernah dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.

    …”Gereja Katolik Indonesia tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu,” ujar Romo Purbo.

    Begitu pula menurut Romo Ismartono. “Tapi bukan berarti gereja menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat,” kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam solidaritas sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan. “Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang sering memakan korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter,” lanjut Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra.

    Diambil dari Gatra Nomor 42 Tahun II, 31 Agustus 1996.

    Balas
  • 3. kevlannietzsche  |  April 24, 2008 pukul 11:54 am

    untuk CDS Indonesia,,
    ya dengan senang hati,, blog saya ditautkan…..

    saya mau bergabung dengan CDS,, bisa ga…?
    syaratnya apa…?

    terima kasih….

    Balas
  • 4. cdsi  |  April 25, 2008 pukul 10:21 am

    terimakasih atas apresiasinya, ini menunjukan kepedulian kawan-kawan pada nasib Indonesia.
    Untuk semua saja yang berkeinginan bergabung dengan kami silahkan untuk mengirimkan biodata lengkap ke cdsindonesia@gmail.com

    Balas
  • 5. udin marhaen  |  April 27, 2008 pukul 6:52 pm

    kalau dulu marx selalu bilang ‘perjuangan kelas’ . Sekarang mari kita kumandangkan ‘perjuangan tempe’, ini sebab bangsa indonesia adalah bangsa besar dimana rakyatnya merupakan pengkonsumsi tempe terbesar di dunia.
    HIDUP TEMPE!!
    Udin di Sudan

    Balas
  • 6. Rahmawati  |  Mei 21, 2008 pukul 9:50 am

    leh tau ga keanggotaan CDS tu sifatnya perorangan ato lembaga? trus klo mo jadi anggota seperti apa caranya n konsekwensi2nya?

    Balas
  • 7. heri  |  Juli 28, 2008 pukul 4:48 am

    lam kenal ja 😀

    http://hmcahyo.wordpress.com/

    Balas
  • 8. Singal  |  Agustus 24, 2009 pukul 1:29 pm

    Salam kenal

    Balas

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed